TANGERANG – Strategi sejumlah perusahaan transportasi teknologi akan membuat Ojek Online (Ojol) menjadi langka.
Sebelumnya PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk sepanjang tahun lalu mencatatkan kenaikan pendapatan kotor dari segmen on-demand.
Hal ini karena kenaikan potongan komisi dari para pengemudi dan gross transaction value (GTV) yang ikut meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Segmen on-demand GOTO sendiri terdiri dari ojek online, pengiriman makanan dan bisnis logistik.
Tahun lalu kenaikan gross transaction value (GTV) bisnis on-demand naik 22% menjadi Rp 61,6 triliun.
Sementara itu, pendapatan kotor perusahaan tumbuh lebih cepat dari GTV atau melonjak 33% karena peningkatan potongan yang perusahaan peroleh dari pengemudi.
Melansir dari Selular.id, menurut data presentasi kinerja GOTO, take rate atau potongan komisi yang menjadi beban bagi mitra pengemudi naik menjadi 22% di tahun 2022 dari sebelumnya sebesar 20,4% pada tahun 2021.
Kenaikan ini merupakan salah satu strategi utama GOTO untuk dapat segera mencapai tingkat profitabilitas, yang oleh manajemen kunci perusahaan dapat tercapai akhir tahun depan.
Tahun lalu, meski pendapatan perusahaan naik 120% secara tahunan menjadi Rp 11,3 triliun. GOTO masih membukukan kerugian bersih Rp 40,4 triliun atau naik 56% dari tahun sebelumnya.
Strategi serupa juga akan Grab lakukan.
Kompetitor utama Gojek di bisnis on-demand, Grab juga mengambil langkah dan pendekatan serupa untuk meningkatkan profitabilitas.
Perusahaan asal Singapura yang melantai di Wall Street tersebut menargetkan bisnisnya mampu breakeven pada semester ke-2 tahun 2024 atau lebih cepat 6 bulan dari target GOTO.
Strateginya terbagi dalam tiga aspek beban yang harus mereka efisiensikan, salah satunya adalah dengan memfokuskan bisnisnya pada segmen bisnis yang memiliki komisi lebih tinggi.
Hal tersebut dapat perusahaan lakukan dengan memperhatikan take rate dan nominal pendapatan dengan nilai terbesar.
Bisnis yang kurang optimal dapat diefisiensikan dan beban yang tidak perlu dapat berkurang.
Strategi bisnis dengan menaikkan potongan biaya merupakan langkah penting yang harus pihak perusahaan ambil.
Hal ini demi memastikan agar bisnis dapat memperoleh keuntungan. Akan tetapi hal ini dapat menjadi disinsentif bagi pengemudi yang pendapatannya terus terkikis karena kenaikan take rate.
Perusahaan sebenarnya bisa saja menaikkan tarif sembari menjaga take rate tetap rendah.
Namun langkah ini juga bisa menjadi boomerang bagi masyarakat Indonesia yang sangat sensitif akan perubahan harga.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono menjelaskan potongan besar dan pendapatan yang tak sebesar dulu membuat masyarakat tidak antusias menjadi pengemudi lagi.
Fenomena yang berbeda dari sekitar tahun 2016, saat banyak orang berbondong-bondong beralih profesi menjadi driver ojol. Saat pertama kali muncul tahun 2010-2015 penghasilan para pengemudi bisa mencapai Rp 10 juta.
Tahun 2016, aplikasi mulai ada perekrutan besar-besaran untuk posisi driver. Pada 2016-2018, pendapatan para driver mulai menurun hingga 50% dari sebelumnya. Hal ini makin parah dengan keadaan pandemi yang makin memotong pemasukan pengemudi.
Menurutnya jika tidak ada penurunan potongan, nampaknya bakal ada krisis pengemudi ojol di masa depan. Bahkan dia mengatakan fenomena ini akan terjadi dalam lima tahun ke depan di kota-kota besar.
“Selagi tidak terlaksana, kami yakin jumlah pengemudi akan terus menurun,” ujarnya. “Bisa kita lihat ke depannya pada kota-kota besar jumlah ojek online semakin menurun untuk lima tahun ke depan,” lanjutnya.
Penelitian Mahasiswa Doktoral London School Economics (LSE), Muhammad Yorga Permana juga mengungkapkan para ojol berminat untuk beralih profesi menjadi pegawai tetap.
Salah satu alasannya karena pendapatan mereka terus mengalami penurunan. Penelitian mencatat penurunan pendapatan terjadi pada 2019.
Bonus harian yang ditawarkan aplikasi juga tak lagi menarik sekarang.